Senin, 26 April 2010

Hukum Benda & Hukum Perikatan



HUKUM BENDA
  1. Tentang Benda pada Umumnya
Pengertian yang terluas dari kata benda (zaak) adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki oleh orang. Terkadang kata benda juga dipakai dalam arti yang sempit, yaitu sebagai barang yang dapat terlihat saja.
Undang-undang membagi benda dalam beberapa macam:
a.    Benda yang dapat diganti (contoh: uang) dan benda yang tak dapat diganti (contoh: seekor kuda);
b.    Benda yang dapat diperdagangkan (praktis tiap barang dapat diperdagangkan) dan benda yang tidak dapat diperdagangkan atau di luar perdagangan (contoh: lapangan umum);
c.    Benda yang dapat dibagi (contoh: beras) dan benda yang tidak dapat dibagi (contoh: seekor kuda);
d.    Benda yang bergerak (contoh: perabot rumah tangga) dan benda yang tidak dapat bergerak (contoh: tanah).

2.    Tentang Hak-Hak Kebendaan
Suatu hak kebendaan (zakelijk recht) adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan secara langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.
Ilmu hukum dan perundang-undangan, telah lama membagi segala hak-hak manusia atas hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan. Suatu kebendaan, memberikan kekuasaan atas benda, sedangkan hak perseorangan (personlijk recht) memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seorang. Suaut hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap tiap orang yang melanggar hak itu, sedangkan suatu hak perseorangan hanyalah dapat dipertahankan terhadap sementara orang tertentu saja atau terhadap suatu pihak.
a.    Bezit
Bezit adalah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Untuk bezit diharuskan adanya dua unsur, yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk memiliki benda tersebut. Dari bezit harus dibedakan detentie, dimana seorang menguasai suatu benda berdasarkan suatu hubungan hukum dengan seorang lain, adalah pemilik atau bezitter dari benda itu. Pada seorang detentor, dianggap bahwa kemauan untuk memiliki benda yang dikuasainya itu tidak ada.
Bezit atas suatu benda yang bergerak, diperoleh secara asli dengan pengambilan barang tersebut dari tempatnya semula, sehingga secara terang atau tegas dapat terlihat maksud untuk memiliki barang itu.
Mengenai benda yang tidak bergerak, oleh undang-undang ditentukan, bahwa untuk memperoleh bezit dengan tidak memakai bantuan orang lain. Pengoperan bezit dari suatu benda yang tidak bergerak, dapat terjadi dengan suatu pernyataan belaka, asal saja orang yang menyatakan itu sendiri adalah bezitter menurut undang-undang pada waktu mengeluarkan pernyataan tersebut dan selanjutnya tidak menghalang-halangi orang yang menggantikannya dalam hal melakukan bezitnya.
Pasal 539 B.W. menentukan, bahwa orang yang sakit ingatan tidak dapat memperoleh bezit, tetapi anak yang di bawah umur  dan orang yang telah kawin dapat memperolehnya. Ini disebabkan karena pada orang yang sakit ingatan dianggap tidak mungkin adanya unsur kemauan untuk memiliki.
Perolehan bezit dengan perantara orang lain adalah memungkinkan, asal saja menurut hukum orang itu mempunyai hak untuk mewakili dan ia dengan secara nyata-nyata menguasai benda yang diperoleh itu.
Selanjutnya, perolehan bezit mungkin pula melalui jalan warisan. Menurut pasal 541 B.W. yang menentukan, bahwa segala sesuatu yang merupakan bezit seorang yang telah meninggal, berpindah sejak hari meninggalnya kepada ahli warisnya, dengan segala sifat-sifat dan cacat-cacatnya.
Bezit atas suatu benda yang tidak bergerak memberikan hak-hak sebagai berikut:
1)    Seorang bezitter tidak dapat begitu saja diusir oleh si pemilik, tetapi harus digugat di depan hakim.
2)    Jika bezitter itu jujur, ia berhak untuk mendapat semua penghasilan dari benda yang dikuasainya pada waktu ia digugat di depan hakim dan ia tidak usah mengembalikan penghasilan itu, meskipun ia akhirnya dikalahkan.
3)    Seorang bezitter yang jujur, lama-kelamaan karena lewatnya waktu, dapat memperoleh hak milik atas benda yang dikuasainya itu.
4)    Jika ia diganggu orang lain, seorang bezitter dapat minta hakim supaya ia dipertahankan dalam kedudukannya atau supaya dipulihkan keadaan semula, sedangkan ia berhak pula menuntut pembayaran kerugian.
Pada umumnya, semua hak milik atas suatu barang hanya dapat berpindah secara sah jika seorang memperolehnya dari orang yang berhak memindahkan hak milik atas barang tersebut, yaitu pemiliknya. Akan tetapi dapat dimengerti, bahwa kelancaran dalam lalu lintas hukum akan sangat terganggu jika dalam setiap jual beli barang yang bergerak si pembeli harus menyelidiki dahulu, apakah si penjual sungguh-sungguh mempunyai hak milik atas barang yang dijualnya. Dalam pasal 1977 dijelaskan mengenai barang yang bergerak, si penjual dianggap sudah cukup membuktikan hak miliknya dengan mempertunjukkan bahwa ia menguasai barang itu seperti seorang pemilik, yaitu bahwa menurut keadaan yang nampak luar barang itu seperti kepunyaan sendiri.
b.    Eigendom
Eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Seorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu, asal saja tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain.
Tiap pemilik suatu benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, berhak meminta kembali bendanya dari siapa saja yang menguasainya berdasarkan hak miliknya itu (pasal 574 B.W.).
Permintaan kembali yang berdasarkan pada hak eigendom, dinamakan revindicatie. Baik sebelum perkara diperiksa di depan hakim, maupun sementara perkara sedang dalam pemeriksaan hakim, penggugat berhak meminta supaya benda yang diminta kembali disita.
Menurut pasal 584 B.W. eigendom hanyalah dapat diperoleh dengan jalan:
1)    Pengambilan
2)    Natrekking, yaitu jika suatu benda bertambah besar atau berlipat karena perbuatan alam
3)    Lewat waktu
4)    Pewarisan
5)    Penyerahan
Menurut sistem B.W. suatu pemindahan hak terdiri atas dua bagian, pertama obligatoire overeenkomst, maksudnya tiap perjanjian jual beli atau pertukaran. Kedua, zakelijke overeenkomst, yaitu pemindahan hak itu sendiri.
c.    Hak-Hak Kebendaan diatas Benda Orang Lain
1)    Erfdienstbaarheid atau servituut
Yaitu suatu beban yang diletakkan di atas suatu perkarangan untuk keperluan suatu perkarangan lain yang berbatasan.
2)    Hak Postal
Yaitu suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas tanahnya orang lain (pasal 711 B.W.). hak Postal dapat terhapus karena:
a.)    Apabila hak milik atas tanah dan bangunan atau tanaman jatuh dalam satu tangan.
b.)    Apabila ia selama tiga tahun tidak dipergunakan.
c.)    Apabila waktu untuk yang diperjanjikan telah lampau.
d.)    Apabila ia diakhiri oleh pemilik tanah.
3)    Hak Efpacht
Yaitu suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun.
4)    Vruchtgebruik
Yaitu suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu kepunyaan sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaan semula (pasal 756 B.W.).
d.    Pand  dan Hypotheek
Kedua hak kebendaan ini memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan jaminan bagi hutang seseorang.
1)    Pand recht
Menurut B.W. Pand recht adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya (pasal 1150 B.W.).
Pand recht atau hak gadai adalah yang dinamakan suatu hak accessoir artinya adanya hak itu tergantung dari adanya suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian hutang piutang yang dijamin dengan hak tersebut. Objek dari hak gadai ini adalah semua benda bergerak yang bukan kepunyaan orang yang menghutangkan itu sendiri.
Oleh undang-undang telah ditentukan bahwa orang yang memberikan tanggungan itu harus cakap untuk bertindak sendiri menurut hukum.
Adapun hak-hak seorang yang menerima tanggungan adalah sebagai berikut:
a)    Ia berhak untuk menahan barang yang dipertanggungjawabkan sampai pada waktu hutang dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bunga.
b)    Ia berhak untuk mengambil pelunasan ini dari pendapatan penjualan barang tersebut, apabila orang yang berhutang tidak menepati kewajibannya.
c)    Ia berhak untuk meminta ganti biaya-biaya yang telah ia keluarkan untuk menyelamatkan barang tanggungan itu, apabila hak itu sudah menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi.
Sebaliknya, seorang pemegang gadai mempunyai kewajiban-kewajiban:
a)    Ia bertanggung jawab tentang hilangnya atau kemunduran harga barang tanggungan, jika itu disebabkan kelalaiannya.
b)    Ia harus memberitahukan pada orang yang berhutang apabila ia hendak menjual barang tanggungannya.
c)    Ia harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualannya itu dan setelah ia mengambil pelunasan hutangnya, harus menyerahkan kelebihannya pada si berhutang.
d)    Ia harus mengembalikan barang tanggungan, apabila hutang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan barang tanggungan telah dibayar lunas.
2)    Hypotheek
Menurut pasal 1162 B.W. hypotheek adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tidak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari benda itu.
Perbedaan antara Pand recht dan hypotheek antara lain:
a)    Pand recht harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan, hypotheek tidak.
b)    Pand recht hapus jika barang yang dijadikan tanggungan berpindah tangan ke orang lain, tetapi hypotheek tetap terletak sebagai bebang di atas benda yang dijadikan tanggungan meskipun benda ini dipindahkan pada orang lain.
c)    Pand recht dapat diberikan hanya pada benda yang bergerak, sedangkan hypotheek hanya atas benda yang tidak bergerak.
d)    Lebih dari satu Pand recht atas satu barang meskipun tidak dilarang oleh undang-undang, di dalam praktek hampir tidak pernah terjadi, tetapi beberapa hypotheek yang bersama-sama dibebankan di atas satu rumah adalah suatu keadaan yang biasa.
Hypotheek seperti halnya dengan Pand recht yang bersifat accessoir, artinya diadakan sebagai buntut belaka dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam uang. Yang dijadikan objek dalam hypotheek adalah benda yang tidak bergerak dan bukan milik orang yang menghutangkan sendiri.
Perjanjian hypotheek harus diletakkan dalam suatu akta authentik, yaitu akta notaris. Hal ini dilakukan supaya mempunyai kekuatan terhadap orang pihak ketiga.
Hak-hak yang menurut undang-undang boleh diperjanjikan dalam suatu perjanjian hypotheek adalah:
a)    Hak yang memberikan kuasa pada pemegang hypotheek untuk menjual sendiri persilnya di depan umum dan mengambil pelunasan dari pendapatan lelangan tersebut, jikalau orang yang berhutang tidak menepati kewajibannya.
b)    Pembatasan hak pemilik persil untuk menyewakan persilnya.
c)    Pemilik persil berhak menjual persilnya kepada siapa saja dan hypotheek yang terletak di atas persil itu akan tetap terletak di atasnya. Akan tetapi kepada pembeli, oleh undang-undang diberikan kesempatan untuk meminta supaya persil itu dibersihkan dari hypotheek-hypotheek yang melebihi jumlah persil itu.
d)    Seorang pemegang hypotheek berhak untuk meminta diperjanjikan bahwa jika terjadi kebakaran sedangkan rumah yang menjadi tanggungan itu telah diasuransikan, ia akan menerima uang asuransi yang dibayarkan kepada pemilik rumah.
Setelah kita mengenal hak-hak kebendaan, dapatlah kita simpulkan, bahwa hak-hak kebendaan itu mempunyai sifat-sifat seperti berikut:
a)    Memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda;
b)    Dapat dipertahankan terhadap setiap orang;
c)    Mempunyai sifat melekat, yaitu mengikuti benda bila ia dipindah tangankan;
d)    Hak yang lebih tua selalu dimenangkan terhadap yang lebih muda.
Hak kebendaan dapat kita bagi dalam dua golongan, yaitu hak yang diberikan untuk kenikmatan dan hak yang diberikan untuk jaminan (Pand  dan hypotheek).

3.    Piutang-Piutang yang diberikan Keistimewaannya (privilege)
Sebagaimana telah diterangkan, maka menurut pasal 1131 B.W. semua benda dari seseorang yang menjadi tanggungan untuk semua hutang-hutangnya. Dan menurut pasal 1132 pendapatan penjualan benda-benda itu harus dibagi di antara para penagih menurut pertimbangan jumlah piutang masing-masing, kecuali jikalau di antara mereka itu ada sementara yang oleh undang-undang telah diberikan hak untuk mengambil pelunasan lebih dahulu dari penagih-penagih yang lainnya.
Menurut pasal 1134 B.W. privilege adalah suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang  melulu berdasarkan sifat piutang.
Pand  dan hypotheek mempunyai kedudukan lebih tinggi dari privilege, kecuali jika undang-undang ditentukan lain. Pand  dan hypotheek tidak pernah bertentangan antara satu dengan yang lain, karena Pand  hanya dapat diberikan atas barang-barang yang bergerak, sedangkan hypotheek sebaliknya hanya mungkin atas benda-benda yang tidak bergerak.
Meskipun privilege mempunyai sifat-sifat menyerupai Pand atau hypotheek, tetapi belum dapat menamakannya suatu hak kebendaan, karena privilege itu barulah timbul apabila suatu kekayaan yang telah disita ternyata tidak cukup untuk melunasi semua hutang dan karena privilege itu tidak memberikan sesuatu kekuasaan terhadap suatu benda.
Menurut undang-undang ada dua macam privilege. Pertama, yang diberikan terhadap suatu benda tertentu. Kedua, yang diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang. Privilege yang pertama memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada yang kedua.
Piutang-piutang yang diberikan privilege terhadap barang-barang tertentu adalah:
a.    Biaya-biaya perkara yang telah dikeluarkan untuk penyitaan dan penjualan suatu benda atau yang dinamakan biaya-biaya eksekusi; harus diambilkan dari pendapatan penjualan tersebut terlebih dahulu dari pada privilege lainnya, bahkan terlebih dahulu pula daripada Pand  dan hypotheek.
b.    Uang-uang sewa dari benda-benda yang tidak bergerak beserta ongkos-ongkos  perbaikan yang telah dikeluarkan si pemilik  rumah atau persil, tetapi seharusnya dipikul oleh si penyewa, penagihan uang sewa dan ongkos perbaikan ini mempunyai privilege terhadap barang-barang perabot rumah yang berada dalam rumah atau di atas persil tersebut.
c.    Harga barang-barang bergerak yang belum dibayar oleh si pembeli jikalau ini disita, si penjual barang mendapat privilege atas hasil penjualan barang itu.
d.    Biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu benda, dapat diambilkan terlebih dahulu dari hasil penjualan benda tersebut, apabila benda itu disita dan dijual.
e.    Biaya-biaya pembikinan suatu benda yang belum dibayar, si pembikin barang ini mendapat privilege atas pendapatan penjualan barang itu, apabila barang itu disita dan dijual.
Piutang-piutang yang telah diberikan privilege terhadap semua kekayaan orang yang berhutang, adalah:
a.    Biaya eksekusi dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan kekayaan yang telah disita.
b.    Ongkos penguburan dan pengobatan selama sakit yang mengakibatkan matinya orang yang berhutang.
c.    Penagihan-penagihan karena pembelian bahan-bahan makanan untuk keperluan orang yang berhutang beserta keluarganya, selama enam bulan yang paling akhir.
d.    Penagihan-penagihan dari kostscholhouders untuk tahun yang terakhir.

4.    Hak reklame
Jikalau penjualan dilakukan dengan tunai, artinya barang harus dibayar seketika itu juga, maka menurut pasal 1145 B.W., kepada si penjual barang diberikan kekuasaan untuk meminta kembali barangnya, selama barang itu masih berada di tangan si pembeli, asal saja permintaan kembali ini dilakukan dalam waktu 30 hari setelah penyerahan barang kepada si pembeli. Hak ini  dinamakan hak reklame atau permintaan kembali. Sudah tentu, permintaan kembali tersebut hanyalah akan ada artinya apabila barangnya masih dalam keadaan semula.
Peraturan yang diberikan B.W. tentang hak reklame hanya dimaksudkan untuk jual beli barang secara kecil-kecilan saja, yang biasanya dilakukan tunai, sedangkan peraturan dalam W.v.K. juga dimaksudkan untuk jual beli barang secara besar-besaran, yang banyak dilakukan atas kredit. Memang hak reklame ini ada miripnya dengan suatu hak kebendaan. Karena itu diatur dalam buku II B.W.
Dalam hal si pembeli barang telah dinyatakan pailit, maka hak reklame dapat dilakukan:
a.    Dengan tidak mengingat apakah jual beli telah dilakukan tunai atau kredit.
b.    Juga apabila barangnya disimpan oleh seorang pihak ketiga.
c.    Dalam waktu 60 hari setelah barangnya ditaruh di rumah orang pihak ketiga tersebut. Juga tentu saja barang itu harus masih dalam keadaan semula.
Pada hakikatnya, hak reklame itu merupakan sesuatu hak si penjual untuk membatalkan perjanjian jual beli.

5.    UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-undang ini bermaksud untuk mengadakan hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah. Dengan demikian telah dihapuskan dari B.W. segala ketentuan atau pasal-pasal yang mengenai eigendom, dan hak-hak kebendaan lainnya atas tanah dan oleh undang-undang baru itu telah diciptakan hak-hak yang berikut atas tanah:
a.    Hak milik, adalah hak turun-temurun terkuatkan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua hak tanah itu mempunyai fungsi sosial.
b.    Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, waktu mana dapat diperpanjang.
c.    Hak pakai bangunan.
d.    Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
e.    Hak sewa, adalah hak mempergunakan tanah milik orang lain oleh seorang atau suatu badan hukum untuk keperluan bangunan dengan membayar pada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

HUKUM PERJANJIAN
1.    Perihal Perikatan dan Sumber-Sumbernya
Perkataan perikatan memiliki arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh buku III B.W. adalah suatu hubungan hukum antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sendangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pada buku III mengatur perihal hubungan-hubungan antara orang dengan orang. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak yang berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak yang berhutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat  dituntut dinamakan prestasi, yang menurut undang-undang dapat berupa:
a.    Menyerahkan suatu barang;
b.    Melakukan suatu perbuatan;
c.    Tidak melakukan suatu perbuatan.
Mengenai sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantaraan pengadilan. Akan tetapi di sini ada pengecualian, adapun cara pelaksanaan suatu putusan yang oleh hakim dikuasakan pada orang yang berpiutang untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi haknya, dalam B.W. cara pelaksanaan ini diperbolehkan dalam hal-hal berikut:
a.    Dalam hal perjanjian-perjanjian yang bertujuan bahwa suatu pihak tidak akan melakukan perbuatan;
b.    Dalam hal perjanjian-perjanjian untuk membikin suatu barang, pihak yang berkepentingan dapat dikuasakan oleh hakim untuk membikin sendiri atau menyuruh orang lain membikinnya, atas biaya yang harus dipikul oleh si berhutang.

2.    Macam-Macam Perikatan
Bentuk perikatan yang sederhana, adalah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Di samping bentuk sederhana tersebut, terdapat beberapa bentuk perikatan. Diantaranya:
a.    Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan.
Oleh undang-undang ditetapkan, bahwa suatu perjanjian sejak semula sudah batal, jika ia mengandung suatu ikatan yang digantungkan pada suatu syarat yang mengharuskan suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan yang sama sekali tidak mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.
b.    Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu adalah suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya.
c.    Perikatan yang membolehkan memilih
Ini adalah suatu perikatan, di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.
d.    Perikatan tanggung menanggung
Ini adalah suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.
Perikatan tanggung-menanggung, lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian. Bagaimanapun juga, perikatan semacam ini tidak boleh dianggap telah diadakan secara diam-diam, ia harus selalu diperjanjikan secara tegas. Adakalanya perikatan tanggung-menanggung  itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya dalam B.W. mengenai beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang, mengenai satu orang menerima penyuruhan dari beberapa orang.

e.    Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
Pada hakikatnya perikatan bisa dibagi atau tidak, hal itu tergantung antara kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian tersebut. Pada asasnya, antara pihak-pihak yang semula suatu perikatan tidak boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya dan tidak usah ia menerima baik suatu pembayaran sebagian demi sebagian.
f.    Perikatan dengan penetapan hukuman
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan hukuman apabila ia tidak menepati kewajibannya.

3.    Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang
Perikatan berdasarkan undang-undang dapat dibagi lagi atas:
a.    Yang lahir dari undang-undang saja, maksudnya adalah perikatan-perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan.
b.    Yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seorang, sedangkan perbuatan orang ini dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan atau yang melanggar hukuman.
Perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan yang diperbolehkan adalah pertama timbul jika seorang melakukan suatu pembayaran yang  diwajibkan. Perbuatan yang demikian ini, menerbitkan suatu perikatan, yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar itu untuk menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan meletakkan kewajiban di pihak lain untuk mengembalikan pembayaran-pembayaran itu. Perikatan ini juga dinamakan zaak waarneming.
Perihal perikatan yang lahir karena undang-undang karena perbuatan seorang yang melanggar hukum, diatur dalam pasal 1365 B.W. pasal ini menetapkan, bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian itu.
Selanjutnya menurut pasal 1367 B.W. seseorang juga dipertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan orang lain yang berada di bawah pengawasannya atau yang bekerja padanya. Namun, perbuatan tersebut hanya terbatas pada hubungan dan hal-hal sebagai berikut:
a.    Orang tua atau wali untuk anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian itu padanya.
b.    Majikan untuk buruhnya, dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka.
c.    Guru sekolah dan kepala tukang untuk murid dan tukangnya selama mereka ini berada di bawah pengawasan mereka.

4.    Perikatan yang Lahir dari Perjanjian
Untuk suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat, yaitu:
a.    Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan dirinya;
b.    Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c.    Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;
d.    Suatu sebab yang halal, artinya tidak dilarang.
Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan.
Paksaan terjadi, jika seorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman.
Kekhilafan dapat terjadi, mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.
Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah diterangkan, beberapa golongan orang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, orang di bawah umur, orang di bawah pengawasan, dan perempuan yang telah kawin.
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang jika terjadi perselisihan. Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak yang diperbolehkan. Secara letterlijk kata oorzaak berarti sebab, tapi menurut riwayatnya, yang dimaksud oorzaak adalah tujuan. Menurut pasal 1335, suatu perjanjian yang tidak memakai sautu causa atau dibuat dengan suatu causa yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Adapun causa yang tidak diperbolehkan adalah yang bertentangan  dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan dirinya. Pernyataan kedua belah pihak harus bertemu dan sepakat.
Pasal 1338 B.W. menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang untuk mereka yang membuatnya. Maksudnya adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah mengikat kedua belah pihak.
Dalam pasal 1338 itu  pula, ditetapkan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Maksudnya adalah cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.
Pasal 1339 menetapkan, bahwa suatu perjanjian tidak saja mengikat pada apa yang dicantumkan semata-mata dalam perjanjian, tetapi juga pada apa yang dikehendaki oleh keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.
Selanjutnya pada pasal 1347 menetapkan bahwa hak-hak atau kewajiban-kewajiban yang sudah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian, meskipun pada suatu waktu tidak dimasukkan dalam surat perjanjian, harus juga dianggap tercantum dalam perjanjian.
Pada umumnya, suatu perjanjian hanya berlaku di antara orang-orang yang membuatnya. Asas ini diletakkan dalam pasal 1315 yang menerangkan, bahwa pada umumnya seorang yang tak dapat menerima kewajiban-kewajiban atau memperjanjikan hak-hak atas namanya sendiri, kecuali hanya untuk dirinya sendiri. Dalam ketentuan ini terdapat pengecualian yang termuat dalam pasal 1317 yang membolehkan seseorang jika ia dalam suatu perjanjian telah minta diperjanjikannya suatu hak, atau jika ia memberikan sesuatu pada orang lain, untuk meminta pula diperjanjikannya suatu hak untuk orang pihak ketiga. Perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali kalau pihak ketiga ini sudah menyatakan kehendaknya untuk mempergunakan hak itu.
Menurut pasal 1318, jika seorang membuat suatu perjanjian yang ia telah meminta diperjanjikannya  sesuatu hak, dapat dianggap bahwa hak itu untuk dia sendiri atau untuk para ahli warisnya atau orang-orang yang memperoleh daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan hal yang sebaliknya ataupun jika dari sifat perjanjian itu dapat disimpulkan hal yang sebaliknya.

5.    Perihal Risiko, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa
Kata risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.
Pasal 1237 menetapkan, bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya. Akan tetapi, menurut pasal tersebut seterusnya, jika si berhutang itu lalai dalam kewajibannya untuk menyerahkan barangnya, maka sejak itu risiko berpindah di atas pundaknya, meskipun ia masih juga dapat dibebaskan dari pemikulan risiko itu, jika ia dapat membuktikan bahwa barang tersebut juga akan hapus seandainya sudah berada di tangan si berpiutang itu sendiri.
Sebagaimana telah diterangkan, seorang debitur yang lalai, yang melakukan wanprestasi, dapat digugat di depan hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada tergugat itu. Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.
Adapun kepada seorang debitur yang lalai adalah si berpiutang dapat memilih antara beberapa kemungkinan.
Pertama, ia dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun melaksanakan ini sudah terlambat.
Kedua, ia dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya.
Ketiga, ia dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.
Keempat, dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian.
Untuk dapat dikatakan suatu keadaan memaksa, selain keadaan itu, di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si berhutang.
Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak, yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya. Tetapi ada juga yang bersifat relatif, yaitu berupa suatu keadaan yang mana perjanjian masih dapat dilakukan, tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar dari hak si berhutang.

6.    Perihal Hapusnya Perikatan-Perikatan
Undang-undang menyebutkan ada sepuluh macam cara hapusnya perikatan:
a.    Karena pembayaran
Yaitu pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.
Barang yang dibayarkan, harus milik orang yang melakukan pembayaran dan orang itu juga harus berhak untuk memindahkan barang-barang itu ke tangan orang lain. Pembayaran juga harus dilakukan kepada si berpiutang atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau oleh undang-undang. Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditentukan di dalam perjanjian.
b.    Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan
Hal ini merupakan suatu cara untuk menolong si berhutang dalam hal si berpiutang tidak suka menerima pembayaran. Barang yang hendak dibayarkan itu diantarkan pada si berpiutang atau ia diperingatkan untuk mengambil barang itu di suatu tempat. Barang itu harus berupa benda bergerak. Penawaran dan peringatan ini harus dilakukan secara resmi.
c.    Pembaharuan hutang
Pembaharuan hutang merupakan suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru.
Dengan adanya suatu pembaharuan hutang, dianggap hutang yang lama telah hapus dengan segala buntutnya. Tetapi si berpiutang berhak untuk memperjanjikan hak-hak istimewa dan hypotheek yang menjadi tanggungan dari hutang lama itu tetap dipegangnya.
d.    Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik
Jika seseorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si berpiutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu kepada yang lainnya, maka hutang piutang antara mereka itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama.
e.    Pencampuran hutang
Pencampuran hutang terjadi misalnya si berhutang kawin dalam percampuran kekayaan dengan si berpiutang atau jika si berhutang menghentikan hak-hak si berpiutang karena menjadi warisnya atau sebaliknya.
f.    Pembebasan hutang
Pembebasan hutang adalah suatu perjanjian baru di mana si berpiutang dengan sukarela membebaskan si berhutang dari segala kewajibannya.
g.    Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
Menurut pasal 1444, jika suatu barang tertentu yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang keadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja hapus atau hilangnya barang itu sama sekali di luar kesalahan si berhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkannya.
h.    Pembatalan perjanjian
Perjanjian yang dibuat oleh orang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, karena paksaan, kekhilafan, atau mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, dapat dibatalkan. Hal ini berakibat, bahwa keadaan antara mereka berdua dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum dibuat.

7.    Perihal Perjanjian Khusus yang Penting
a.    Perjanjian Jual Beli
Maksudnya,  suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi alam menyerahkan hak milik atas sesuatu barang, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang.
b.    Perjanjian sewa-menyewa
Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selam suatu jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan.
c.    Pemberian atau hibah (schenking)
Pada pasal 1666 B.W. dijelaskan tentang pengertian pemberian, yaitu suatu perjanjian, di mana pihak yang satu menyanggupi dengan Cuma-Cuma dengan secara mutlak memberikan suatu benda pada pihak yang lainnya.
d.    Persekutuan (maatschap)
Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana beberapa orang bermufakat untuk bekerja bersama dalam lapangan ekonomi, dengan tujuan membagi keuntungan yang akan diperoleh.
e.    Penyuruhan (lastgeving)
Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu memberikan perintah kepada pihak yang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum, perintah mana diterima oleh yang belakangan ini.
f.    Perjanjian Pinjam
Perjanjian pinjam oleh undang-undang dibedakan antara:
1)    Perjanjian pinjam barang yang tak dapat diganti
Hak milik atas barang yang dipinjamkan tetap berada pada pemiliknya, yaitu pihak yang meminjamkan barangnya. Selama waktu peminjaman si peminjam harus memelihara barang tersebut sebaik-baiknya.
2)    Perjanjian pinjaman barang yang dapat diganti
Dalam hal ini barang yang diserahkan untuk dipinjam itu menjadi miliknya si peminjam, sedangkan pihak yang meminjamkan memperoleh suatu hak penuntutan terhadap si peminjam untuk mengembalikan sejumlah barang yang sama jumlah dan kualitasnya.
g.    Penanggungan hutang
Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana satu pihak menyanggupi pada pihak yang lainnya, bahwa ia menanggung pembayaran suatu hutang, apabila si berhutang tidak menepati kewajibannya.
h.    Perjanjian perdamaian
Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana dua pihak membuat suatu perdamaian untuk menyingkiri atau mengakhiri suatu perkara, dalam perjanjian mana masing-masing melepaskan sementara hak-hak atau tuntutannnya.
i.    Perjanjian kerja
Perjanjian kerja dalam arti yang luas dapat dibagi dalam:
1)    Perjanjian perburuhan yang sejati
Perjanjian perburuhan sejati mempunyai sifat-sifat khusus diantaranya:
a)    Ia menerbitkan suatu hubungan diperatas
b)    Selalu diperjanjikan suatu gaji atau upah
c)    Ia dibuat untuk suatu waktu tertentu atau sampai diakhiri oleh salah satu pihak.
2)    Pemborongan pekerjaan
Adalah suatu perjanjian, di mana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lain, melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula.