Senin, 26 April 2010

Hukum Benda & Hukum Perikatan



HUKUM BENDA
  1. Tentang Benda pada Umumnya
Pengertian yang terluas dari kata benda (zaak) adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki oleh orang. Terkadang kata benda juga dipakai dalam arti yang sempit, yaitu sebagai barang yang dapat terlihat saja.
Undang-undang membagi benda dalam beberapa macam:
a.    Benda yang dapat diganti (contoh: uang) dan benda yang tak dapat diganti (contoh: seekor kuda);
b.    Benda yang dapat diperdagangkan (praktis tiap barang dapat diperdagangkan) dan benda yang tidak dapat diperdagangkan atau di luar perdagangan (contoh: lapangan umum);
c.    Benda yang dapat dibagi (contoh: beras) dan benda yang tidak dapat dibagi (contoh: seekor kuda);
d.    Benda yang bergerak (contoh: perabot rumah tangga) dan benda yang tidak dapat bergerak (contoh: tanah).

2.    Tentang Hak-Hak Kebendaan
Suatu hak kebendaan (zakelijk recht) adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan secara langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.
Ilmu hukum dan perundang-undangan, telah lama membagi segala hak-hak manusia atas hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan. Suatu kebendaan, memberikan kekuasaan atas benda, sedangkan hak perseorangan (personlijk recht) memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seorang. Suaut hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap tiap orang yang melanggar hak itu, sedangkan suatu hak perseorangan hanyalah dapat dipertahankan terhadap sementara orang tertentu saja atau terhadap suatu pihak.
a.    Bezit
Bezit adalah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Untuk bezit diharuskan adanya dua unsur, yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk memiliki benda tersebut. Dari bezit harus dibedakan detentie, dimana seorang menguasai suatu benda berdasarkan suatu hubungan hukum dengan seorang lain, adalah pemilik atau bezitter dari benda itu. Pada seorang detentor, dianggap bahwa kemauan untuk memiliki benda yang dikuasainya itu tidak ada.
Bezit atas suatu benda yang bergerak, diperoleh secara asli dengan pengambilan barang tersebut dari tempatnya semula, sehingga secara terang atau tegas dapat terlihat maksud untuk memiliki barang itu.
Mengenai benda yang tidak bergerak, oleh undang-undang ditentukan, bahwa untuk memperoleh bezit dengan tidak memakai bantuan orang lain. Pengoperan bezit dari suatu benda yang tidak bergerak, dapat terjadi dengan suatu pernyataan belaka, asal saja orang yang menyatakan itu sendiri adalah bezitter menurut undang-undang pada waktu mengeluarkan pernyataan tersebut dan selanjutnya tidak menghalang-halangi orang yang menggantikannya dalam hal melakukan bezitnya.
Pasal 539 B.W. menentukan, bahwa orang yang sakit ingatan tidak dapat memperoleh bezit, tetapi anak yang di bawah umur  dan orang yang telah kawin dapat memperolehnya. Ini disebabkan karena pada orang yang sakit ingatan dianggap tidak mungkin adanya unsur kemauan untuk memiliki.
Perolehan bezit dengan perantara orang lain adalah memungkinkan, asal saja menurut hukum orang itu mempunyai hak untuk mewakili dan ia dengan secara nyata-nyata menguasai benda yang diperoleh itu.
Selanjutnya, perolehan bezit mungkin pula melalui jalan warisan. Menurut pasal 541 B.W. yang menentukan, bahwa segala sesuatu yang merupakan bezit seorang yang telah meninggal, berpindah sejak hari meninggalnya kepada ahli warisnya, dengan segala sifat-sifat dan cacat-cacatnya.
Bezit atas suatu benda yang tidak bergerak memberikan hak-hak sebagai berikut:
1)    Seorang bezitter tidak dapat begitu saja diusir oleh si pemilik, tetapi harus digugat di depan hakim.
2)    Jika bezitter itu jujur, ia berhak untuk mendapat semua penghasilan dari benda yang dikuasainya pada waktu ia digugat di depan hakim dan ia tidak usah mengembalikan penghasilan itu, meskipun ia akhirnya dikalahkan.
3)    Seorang bezitter yang jujur, lama-kelamaan karena lewatnya waktu, dapat memperoleh hak milik atas benda yang dikuasainya itu.
4)    Jika ia diganggu orang lain, seorang bezitter dapat minta hakim supaya ia dipertahankan dalam kedudukannya atau supaya dipulihkan keadaan semula, sedangkan ia berhak pula menuntut pembayaran kerugian.
Pada umumnya, semua hak milik atas suatu barang hanya dapat berpindah secara sah jika seorang memperolehnya dari orang yang berhak memindahkan hak milik atas barang tersebut, yaitu pemiliknya. Akan tetapi dapat dimengerti, bahwa kelancaran dalam lalu lintas hukum akan sangat terganggu jika dalam setiap jual beli barang yang bergerak si pembeli harus menyelidiki dahulu, apakah si penjual sungguh-sungguh mempunyai hak milik atas barang yang dijualnya. Dalam pasal 1977 dijelaskan mengenai barang yang bergerak, si penjual dianggap sudah cukup membuktikan hak miliknya dengan mempertunjukkan bahwa ia menguasai barang itu seperti seorang pemilik, yaitu bahwa menurut keadaan yang nampak luar barang itu seperti kepunyaan sendiri.
b.    Eigendom
Eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Seorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu, asal saja tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain.
Tiap pemilik suatu benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, berhak meminta kembali bendanya dari siapa saja yang menguasainya berdasarkan hak miliknya itu (pasal 574 B.W.).
Permintaan kembali yang berdasarkan pada hak eigendom, dinamakan revindicatie. Baik sebelum perkara diperiksa di depan hakim, maupun sementara perkara sedang dalam pemeriksaan hakim, penggugat berhak meminta supaya benda yang diminta kembali disita.
Menurut pasal 584 B.W. eigendom hanyalah dapat diperoleh dengan jalan:
1)    Pengambilan
2)    Natrekking, yaitu jika suatu benda bertambah besar atau berlipat karena perbuatan alam
3)    Lewat waktu
4)    Pewarisan
5)    Penyerahan
Menurut sistem B.W. suatu pemindahan hak terdiri atas dua bagian, pertama obligatoire overeenkomst, maksudnya tiap perjanjian jual beli atau pertukaran. Kedua, zakelijke overeenkomst, yaitu pemindahan hak itu sendiri.
c.    Hak-Hak Kebendaan diatas Benda Orang Lain
1)    Erfdienstbaarheid atau servituut
Yaitu suatu beban yang diletakkan di atas suatu perkarangan untuk keperluan suatu perkarangan lain yang berbatasan.
2)    Hak Postal
Yaitu suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas tanahnya orang lain (pasal 711 B.W.). hak Postal dapat terhapus karena:
a.)    Apabila hak milik atas tanah dan bangunan atau tanaman jatuh dalam satu tangan.
b.)    Apabila ia selama tiga tahun tidak dipergunakan.
c.)    Apabila waktu untuk yang diperjanjikan telah lampau.
d.)    Apabila ia diakhiri oleh pemilik tanah.
3)    Hak Efpacht
Yaitu suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun.
4)    Vruchtgebruik
Yaitu suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu kepunyaan sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaan semula (pasal 756 B.W.).
d.    Pand  dan Hypotheek
Kedua hak kebendaan ini memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan jaminan bagi hutang seseorang.
1)    Pand recht
Menurut B.W. Pand recht adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya (pasal 1150 B.W.).
Pand recht atau hak gadai adalah yang dinamakan suatu hak accessoir artinya adanya hak itu tergantung dari adanya suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian hutang piutang yang dijamin dengan hak tersebut. Objek dari hak gadai ini adalah semua benda bergerak yang bukan kepunyaan orang yang menghutangkan itu sendiri.
Oleh undang-undang telah ditentukan bahwa orang yang memberikan tanggungan itu harus cakap untuk bertindak sendiri menurut hukum.
Adapun hak-hak seorang yang menerima tanggungan adalah sebagai berikut:
a)    Ia berhak untuk menahan barang yang dipertanggungjawabkan sampai pada waktu hutang dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bunga.
b)    Ia berhak untuk mengambil pelunasan ini dari pendapatan penjualan barang tersebut, apabila orang yang berhutang tidak menepati kewajibannya.
c)    Ia berhak untuk meminta ganti biaya-biaya yang telah ia keluarkan untuk menyelamatkan barang tanggungan itu, apabila hak itu sudah menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi.
Sebaliknya, seorang pemegang gadai mempunyai kewajiban-kewajiban:
a)    Ia bertanggung jawab tentang hilangnya atau kemunduran harga barang tanggungan, jika itu disebabkan kelalaiannya.
b)    Ia harus memberitahukan pada orang yang berhutang apabila ia hendak menjual barang tanggungannya.
c)    Ia harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualannya itu dan setelah ia mengambil pelunasan hutangnya, harus menyerahkan kelebihannya pada si berhutang.
d)    Ia harus mengembalikan barang tanggungan, apabila hutang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan barang tanggungan telah dibayar lunas.
2)    Hypotheek
Menurut pasal 1162 B.W. hypotheek adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tidak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari benda itu.
Perbedaan antara Pand recht dan hypotheek antara lain:
a)    Pand recht harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan, hypotheek tidak.
b)    Pand recht hapus jika barang yang dijadikan tanggungan berpindah tangan ke orang lain, tetapi hypotheek tetap terletak sebagai bebang di atas benda yang dijadikan tanggungan meskipun benda ini dipindahkan pada orang lain.
c)    Pand recht dapat diberikan hanya pada benda yang bergerak, sedangkan hypotheek hanya atas benda yang tidak bergerak.
d)    Lebih dari satu Pand recht atas satu barang meskipun tidak dilarang oleh undang-undang, di dalam praktek hampir tidak pernah terjadi, tetapi beberapa hypotheek yang bersama-sama dibebankan di atas satu rumah adalah suatu keadaan yang biasa.
Hypotheek seperti halnya dengan Pand recht yang bersifat accessoir, artinya diadakan sebagai buntut belaka dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam uang. Yang dijadikan objek dalam hypotheek adalah benda yang tidak bergerak dan bukan milik orang yang menghutangkan sendiri.
Perjanjian hypotheek harus diletakkan dalam suatu akta authentik, yaitu akta notaris. Hal ini dilakukan supaya mempunyai kekuatan terhadap orang pihak ketiga.
Hak-hak yang menurut undang-undang boleh diperjanjikan dalam suatu perjanjian hypotheek adalah:
a)    Hak yang memberikan kuasa pada pemegang hypotheek untuk menjual sendiri persilnya di depan umum dan mengambil pelunasan dari pendapatan lelangan tersebut, jikalau orang yang berhutang tidak menepati kewajibannya.
b)    Pembatasan hak pemilik persil untuk menyewakan persilnya.
c)    Pemilik persil berhak menjual persilnya kepada siapa saja dan hypotheek yang terletak di atas persil itu akan tetap terletak di atasnya. Akan tetapi kepada pembeli, oleh undang-undang diberikan kesempatan untuk meminta supaya persil itu dibersihkan dari hypotheek-hypotheek yang melebihi jumlah persil itu.
d)    Seorang pemegang hypotheek berhak untuk meminta diperjanjikan bahwa jika terjadi kebakaran sedangkan rumah yang menjadi tanggungan itu telah diasuransikan, ia akan menerima uang asuransi yang dibayarkan kepada pemilik rumah.
Setelah kita mengenal hak-hak kebendaan, dapatlah kita simpulkan, bahwa hak-hak kebendaan itu mempunyai sifat-sifat seperti berikut:
a)    Memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda;
b)    Dapat dipertahankan terhadap setiap orang;
c)    Mempunyai sifat melekat, yaitu mengikuti benda bila ia dipindah tangankan;
d)    Hak yang lebih tua selalu dimenangkan terhadap yang lebih muda.
Hak kebendaan dapat kita bagi dalam dua golongan, yaitu hak yang diberikan untuk kenikmatan dan hak yang diberikan untuk jaminan (Pand  dan hypotheek).

3.    Piutang-Piutang yang diberikan Keistimewaannya (privilege)
Sebagaimana telah diterangkan, maka menurut pasal 1131 B.W. semua benda dari seseorang yang menjadi tanggungan untuk semua hutang-hutangnya. Dan menurut pasal 1132 pendapatan penjualan benda-benda itu harus dibagi di antara para penagih menurut pertimbangan jumlah piutang masing-masing, kecuali jikalau di antara mereka itu ada sementara yang oleh undang-undang telah diberikan hak untuk mengambil pelunasan lebih dahulu dari penagih-penagih yang lainnya.
Menurut pasal 1134 B.W. privilege adalah suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang  melulu berdasarkan sifat piutang.
Pand  dan hypotheek mempunyai kedudukan lebih tinggi dari privilege, kecuali jika undang-undang ditentukan lain. Pand  dan hypotheek tidak pernah bertentangan antara satu dengan yang lain, karena Pand  hanya dapat diberikan atas barang-barang yang bergerak, sedangkan hypotheek sebaliknya hanya mungkin atas benda-benda yang tidak bergerak.
Meskipun privilege mempunyai sifat-sifat menyerupai Pand atau hypotheek, tetapi belum dapat menamakannya suatu hak kebendaan, karena privilege itu barulah timbul apabila suatu kekayaan yang telah disita ternyata tidak cukup untuk melunasi semua hutang dan karena privilege itu tidak memberikan sesuatu kekuasaan terhadap suatu benda.
Menurut undang-undang ada dua macam privilege. Pertama, yang diberikan terhadap suatu benda tertentu. Kedua, yang diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang. Privilege yang pertama memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada yang kedua.
Piutang-piutang yang diberikan privilege terhadap barang-barang tertentu adalah:
a.    Biaya-biaya perkara yang telah dikeluarkan untuk penyitaan dan penjualan suatu benda atau yang dinamakan biaya-biaya eksekusi; harus diambilkan dari pendapatan penjualan tersebut terlebih dahulu dari pada privilege lainnya, bahkan terlebih dahulu pula daripada Pand  dan hypotheek.
b.    Uang-uang sewa dari benda-benda yang tidak bergerak beserta ongkos-ongkos  perbaikan yang telah dikeluarkan si pemilik  rumah atau persil, tetapi seharusnya dipikul oleh si penyewa, penagihan uang sewa dan ongkos perbaikan ini mempunyai privilege terhadap barang-barang perabot rumah yang berada dalam rumah atau di atas persil tersebut.
c.    Harga barang-barang bergerak yang belum dibayar oleh si pembeli jikalau ini disita, si penjual barang mendapat privilege atas hasil penjualan barang itu.
d.    Biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu benda, dapat diambilkan terlebih dahulu dari hasil penjualan benda tersebut, apabila benda itu disita dan dijual.
e.    Biaya-biaya pembikinan suatu benda yang belum dibayar, si pembikin barang ini mendapat privilege atas pendapatan penjualan barang itu, apabila barang itu disita dan dijual.
Piutang-piutang yang telah diberikan privilege terhadap semua kekayaan orang yang berhutang, adalah:
a.    Biaya eksekusi dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan kekayaan yang telah disita.
b.    Ongkos penguburan dan pengobatan selama sakit yang mengakibatkan matinya orang yang berhutang.
c.    Penagihan-penagihan karena pembelian bahan-bahan makanan untuk keperluan orang yang berhutang beserta keluarganya, selama enam bulan yang paling akhir.
d.    Penagihan-penagihan dari kostscholhouders untuk tahun yang terakhir.

4.    Hak reklame
Jikalau penjualan dilakukan dengan tunai, artinya barang harus dibayar seketika itu juga, maka menurut pasal 1145 B.W., kepada si penjual barang diberikan kekuasaan untuk meminta kembali barangnya, selama barang itu masih berada di tangan si pembeli, asal saja permintaan kembali ini dilakukan dalam waktu 30 hari setelah penyerahan barang kepada si pembeli. Hak ini  dinamakan hak reklame atau permintaan kembali. Sudah tentu, permintaan kembali tersebut hanyalah akan ada artinya apabila barangnya masih dalam keadaan semula.
Peraturan yang diberikan B.W. tentang hak reklame hanya dimaksudkan untuk jual beli barang secara kecil-kecilan saja, yang biasanya dilakukan tunai, sedangkan peraturan dalam W.v.K. juga dimaksudkan untuk jual beli barang secara besar-besaran, yang banyak dilakukan atas kredit. Memang hak reklame ini ada miripnya dengan suatu hak kebendaan. Karena itu diatur dalam buku II B.W.
Dalam hal si pembeli barang telah dinyatakan pailit, maka hak reklame dapat dilakukan:
a.    Dengan tidak mengingat apakah jual beli telah dilakukan tunai atau kredit.
b.    Juga apabila barangnya disimpan oleh seorang pihak ketiga.
c.    Dalam waktu 60 hari setelah barangnya ditaruh di rumah orang pihak ketiga tersebut. Juga tentu saja barang itu harus masih dalam keadaan semula.
Pada hakikatnya, hak reklame itu merupakan sesuatu hak si penjual untuk membatalkan perjanjian jual beli.

5.    UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-undang ini bermaksud untuk mengadakan hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah. Dengan demikian telah dihapuskan dari B.W. segala ketentuan atau pasal-pasal yang mengenai eigendom, dan hak-hak kebendaan lainnya atas tanah dan oleh undang-undang baru itu telah diciptakan hak-hak yang berikut atas tanah:
a.    Hak milik, adalah hak turun-temurun terkuatkan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua hak tanah itu mempunyai fungsi sosial.
b.    Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, waktu mana dapat diperpanjang.
c.    Hak pakai bangunan.
d.    Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
e.    Hak sewa, adalah hak mempergunakan tanah milik orang lain oleh seorang atau suatu badan hukum untuk keperluan bangunan dengan membayar pada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

HUKUM PERJANJIAN
1.    Perihal Perikatan dan Sumber-Sumbernya
Perkataan perikatan memiliki arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh buku III B.W. adalah suatu hubungan hukum antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sendangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pada buku III mengatur perihal hubungan-hubungan antara orang dengan orang. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak yang berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak yang berhutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat  dituntut dinamakan prestasi, yang menurut undang-undang dapat berupa:
a.    Menyerahkan suatu barang;
b.    Melakukan suatu perbuatan;
c.    Tidak melakukan suatu perbuatan.
Mengenai sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantaraan pengadilan. Akan tetapi di sini ada pengecualian, adapun cara pelaksanaan suatu putusan yang oleh hakim dikuasakan pada orang yang berpiutang untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi haknya, dalam B.W. cara pelaksanaan ini diperbolehkan dalam hal-hal berikut:
a.    Dalam hal perjanjian-perjanjian yang bertujuan bahwa suatu pihak tidak akan melakukan perbuatan;
b.    Dalam hal perjanjian-perjanjian untuk membikin suatu barang, pihak yang berkepentingan dapat dikuasakan oleh hakim untuk membikin sendiri atau menyuruh orang lain membikinnya, atas biaya yang harus dipikul oleh si berhutang.

2.    Macam-Macam Perikatan
Bentuk perikatan yang sederhana, adalah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Di samping bentuk sederhana tersebut, terdapat beberapa bentuk perikatan. Diantaranya:
a.    Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan.
Oleh undang-undang ditetapkan, bahwa suatu perjanjian sejak semula sudah batal, jika ia mengandung suatu ikatan yang digantungkan pada suatu syarat yang mengharuskan suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan yang sama sekali tidak mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.
b.    Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu adalah suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya.
c.    Perikatan yang membolehkan memilih
Ini adalah suatu perikatan, di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.
d.    Perikatan tanggung menanggung
Ini adalah suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.
Perikatan tanggung-menanggung, lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian. Bagaimanapun juga, perikatan semacam ini tidak boleh dianggap telah diadakan secara diam-diam, ia harus selalu diperjanjikan secara tegas. Adakalanya perikatan tanggung-menanggung  itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya dalam B.W. mengenai beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang, mengenai satu orang menerima penyuruhan dari beberapa orang.

e.    Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
Pada hakikatnya perikatan bisa dibagi atau tidak, hal itu tergantung antara kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian tersebut. Pada asasnya, antara pihak-pihak yang semula suatu perikatan tidak boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya dan tidak usah ia menerima baik suatu pembayaran sebagian demi sebagian.
f.    Perikatan dengan penetapan hukuman
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan hukuman apabila ia tidak menepati kewajibannya.

3.    Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang
Perikatan berdasarkan undang-undang dapat dibagi lagi atas:
a.    Yang lahir dari undang-undang saja, maksudnya adalah perikatan-perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan.
b.    Yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seorang, sedangkan perbuatan orang ini dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan atau yang melanggar hukuman.
Perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan yang diperbolehkan adalah pertama timbul jika seorang melakukan suatu pembayaran yang  diwajibkan. Perbuatan yang demikian ini, menerbitkan suatu perikatan, yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar itu untuk menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan meletakkan kewajiban di pihak lain untuk mengembalikan pembayaran-pembayaran itu. Perikatan ini juga dinamakan zaak waarneming.
Perihal perikatan yang lahir karena undang-undang karena perbuatan seorang yang melanggar hukum, diatur dalam pasal 1365 B.W. pasal ini menetapkan, bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian itu.
Selanjutnya menurut pasal 1367 B.W. seseorang juga dipertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan orang lain yang berada di bawah pengawasannya atau yang bekerja padanya. Namun, perbuatan tersebut hanya terbatas pada hubungan dan hal-hal sebagai berikut:
a.    Orang tua atau wali untuk anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian itu padanya.
b.    Majikan untuk buruhnya, dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka.
c.    Guru sekolah dan kepala tukang untuk murid dan tukangnya selama mereka ini berada di bawah pengawasan mereka.

4.    Perikatan yang Lahir dari Perjanjian
Untuk suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat, yaitu:
a.    Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan dirinya;
b.    Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c.    Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;
d.    Suatu sebab yang halal, artinya tidak dilarang.
Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan.
Paksaan terjadi, jika seorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman.
Kekhilafan dapat terjadi, mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.
Kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah diterangkan, beberapa golongan orang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, orang di bawah umur, orang di bawah pengawasan, dan perempuan yang telah kawin.
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang jika terjadi perselisihan. Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak yang diperbolehkan. Secara letterlijk kata oorzaak berarti sebab, tapi menurut riwayatnya, yang dimaksud oorzaak adalah tujuan. Menurut pasal 1335, suatu perjanjian yang tidak memakai sautu causa atau dibuat dengan suatu causa yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Adapun causa yang tidak diperbolehkan adalah yang bertentangan  dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan dirinya. Pernyataan kedua belah pihak harus bertemu dan sepakat.
Pasal 1338 B.W. menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang untuk mereka yang membuatnya. Maksudnya adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah mengikat kedua belah pihak.
Dalam pasal 1338 itu  pula, ditetapkan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Maksudnya adalah cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.
Pasal 1339 menetapkan, bahwa suatu perjanjian tidak saja mengikat pada apa yang dicantumkan semata-mata dalam perjanjian, tetapi juga pada apa yang dikehendaki oleh keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.
Selanjutnya pada pasal 1347 menetapkan bahwa hak-hak atau kewajiban-kewajiban yang sudah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian, meskipun pada suatu waktu tidak dimasukkan dalam surat perjanjian, harus juga dianggap tercantum dalam perjanjian.
Pada umumnya, suatu perjanjian hanya berlaku di antara orang-orang yang membuatnya. Asas ini diletakkan dalam pasal 1315 yang menerangkan, bahwa pada umumnya seorang yang tak dapat menerima kewajiban-kewajiban atau memperjanjikan hak-hak atas namanya sendiri, kecuali hanya untuk dirinya sendiri. Dalam ketentuan ini terdapat pengecualian yang termuat dalam pasal 1317 yang membolehkan seseorang jika ia dalam suatu perjanjian telah minta diperjanjikannya suatu hak, atau jika ia memberikan sesuatu pada orang lain, untuk meminta pula diperjanjikannya suatu hak untuk orang pihak ketiga. Perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali kalau pihak ketiga ini sudah menyatakan kehendaknya untuk mempergunakan hak itu.
Menurut pasal 1318, jika seorang membuat suatu perjanjian yang ia telah meminta diperjanjikannya  sesuatu hak, dapat dianggap bahwa hak itu untuk dia sendiri atau untuk para ahli warisnya atau orang-orang yang memperoleh daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan hal yang sebaliknya ataupun jika dari sifat perjanjian itu dapat disimpulkan hal yang sebaliknya.

5.    Perihal Risiko, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa
Kata risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.
Pasal 1237 menetapkan, bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya. Akan tetapi, menurut pasal tersebut seterusnya, jika si berhutang itu lalai dalam kewajibannya untuk menyerahkan barangnya, maka sejak itu risiko berpindah di atas pundaknya, meskipun ia masih juga dapat dibebaskan dari pemikulan risiko itu, jika ia dapat membuktikan bahwa barang tersebut juga akan hapus seandainya sudah berada di tangan si berpiutang itu sendiri.
Sebagaimana telah diterangkan, seorang debitur yang lalai, yang melakukan wanprestasi, dapat digugat di depan hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada tergugat itu. Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.
Adapun kepada seorang debitur yang lalai adalah si berpiutang dapat memilih antara beberapa kemungkinan.
Pertama, ia dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun melaksanakan ini sudah terlambat.
Kedua, ia dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya.
Ketiga, ia dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.
Keempat, dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian.
Untuk dapat dikatakan suatu keadaan memaksa, selain keadaan itu, di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si berhutang.
Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak, yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya. Tetapi ada juga yang bersifat relatif, yaitu berupa suatu keadaan yang mana perjanjian masih dapat dilakukan, tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar dari hak si berhutang.

6.    Perihal Hapusnya Perikatan-Perikatan
Undang-undang menyebutkan ada sepuluh macam cara hapusnya perikatan:
a.    Karena pembayaran
Yaitu pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.
Barang yang dibayarkan, harus milik orang yang melakukan pembayaran dan orang itu juga harus berhak untuk memindahkan barang-barang itu ke tangan orang lain. Pembayaran juga harus dilakukan kepada si berpiutang atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau oleh undang-undang. Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditentukan di dalam perjanjian.
b.    Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan
Hal ini merupakan suatu cara untuk menolong si berhutang dalam hal si berpiutang tidak suka menerima pembayaran. Barang yang hendak dibayarkan itu diantarkan pada si berpiutang atau ia diperingatkan untuk mengambil barang itu di suatu tempat. Barang itu harus berupa benda bergerak. Penawaran dan peringatan ini harus dilakukan secara resmi.
c.    Pembaharuan hutang
Pembaharuan hutang merupakan suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru.
Dengan adanya suatu pembaharuan hutang, dianggap hutang yang lama telah hapus dengan segala buntutnya. Tetapi si berpiutang berhak untuk memperjanjikan hak-hak istimewa dan hypotheek yang menjadi tanggungan dari hutang lama itu tetap dipegangnya.
d.    Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik
Jika seseorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si berpiutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu kepada yang lainnya, maka hutang piutang antara mereka itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama.
e.    Pencampuran hutang
Pencampuran hutang terjadi misalnya si berhutang kawin dalam percampuran kekayaan dengan si berpiutang atau jika si berhutang menghentikan hak-hak si berpiutang karena menjadi warisnya atau sebaliknya.
f.    Pembebasan hutang
Pembebasan hutang adalah suatu perjanjian baru di mana si berpiutang dengan sukarela membebaskan si berhutang dari segala kewajibannya.
g.    Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
Menurut pasal 1444, jika suatu barang tertentu yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang keadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja hapus atau hilangnya barang itu sama sekali di luar kesalahan si berhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkannya.
h.    Pembatalan perjanjian
Perjanjian yang dibuat oleh orang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, karena paksaan, kekhilafan, atau mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, dapat dibatalkan. Hal ini berakibat, bahwa keadaan antara mereka berdua dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum dibuat.

7.    Perihal Perjanjian Khusus yang Penting
a.    Perjanjian Jual Beli
Maksudnya,  suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi alam menyerahkan hak milik atas sesuatu barang, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang.
b.    Perjanjian sewa-menyewa
Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selam suatu jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan.
c.    Pemberian atau hibah (schenking)
Pada pasal 1666 B.W. dijelaskan tentang pengertian pemberian, yaitu suatu perjanjian, di mana pihak yang satu menyanggupi dengan Cuma-Cuma dengan secara mutlak memberikan suatu benda pada pihak yang lainnya.
d.    Persekutuan (maatschap)
Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana beberapa orang bermufakat untuk bekerja bersama dalam lapangan ekonomi, dengan tujuan membagi keuntungan yang akan diperoleh.
e.    Penyuruhan (lastgeving)
Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu memberikan perintah kepada pihak yang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum, perintah mana diterima oleh yang belakangan ini.
f.    Perjanjian Pinjam
Perjanjian pinjam oleh undang-undang dibedakan antara:
1)    Perjanjian pinjam barang yang tak dapat diganti
Hak milik atas barang yang dipinjamkan tetap berada pada pemiliknya, yaitu pihak yang meminjamkan barangnya. Selama waktu peminjaman si peminjam harus memelihara barang tersebut sebaik-baiknya.
2)    Perjanjian pinjaman barang yang dapat diganti
Dalam hal ini barang yang diserahkan untuk dipinjam itu menjadi miliknya si peminjam, sedangkan pihak yang meminjamkan memperoleh suatu hak penuntutan terhadap si peminjam untuk mengembalikan sejumlah barang yang sama jumlah dan kualitasnya.
g.    Penanggungan hutang
Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana satu pihak menyanggupi pada pihak yang lainnya, bahwa ia menanggung pembayaran suatu hutang, apabila si berhutang tidak menepati kewajibannya.
h.    Perjanjian perdamaian
Maksudnya adalah suatu perjanjian di mana dua pihak membuat suatu perdamaian untuk menyingkiri atau mengakhiri suatu perkara, dalam perjanjian mana masing-masing melepaskan sementara hak-hak atau tuntutannnya.
i.    Perjanjian kerja
Perjanjian kerja dalam arti yang luas dapat dibagi dalam:
1)    Perjanjian perburuhan yang sejati
Perjanjian perburuhan sejati mempunyai sifat-sifat khusus diantaranya:
a)    Ia menerbitkan suatu hubungan diperatas
b)    Selalu diperjanjikan suatu gaji atau upah
c)    Ia dibuat untuk suatu waktu tertentu atau sampai diakhiri oleh salah satu pihak.
2)    Pemborongan pekerjaan
Adalah suatu perjanjian, di mana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lain, melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula.

Rabu, 24 Maret 2010

filsafat Hermeneutika

FILSAFAT HERMENEUTIKA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Filsafat Ilmu





Disusun oleh:

Yuni Wulandari : C51208056

Zakiyatul Ulya : C51208057

Habibatul Ulum : C51208058

Ary Ardila : C51208059

Muhyidin Dardir : C51208060




Dosen Pembimbing:

Dr. H. Sahid, M.Ag

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

SURABAYA

2009






BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Salah satu ciri khas filsafat dewasa ini adalah perhatiannya kepada bahasa. Tentu saja, bahasa bukan merupakan tema baru dalam filsafat. Minat untuk masalah-masalah yang menyangkut bahasa terlihat sepanjang sejarah filsafat, sudah sejak permulaannya di Yunani. Namun demikian, perhatian filosofis untuk bahasa itu belum pernah begitu umum, begitu luas dan begitu mendalam seperti dalam abad ke-20. Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa memainkan peranan yang dapat dibandingkan dengan yang ada dalam filsafat klasik dulu. Karena terdapat kemiripan tertentu, yaitu keduanya bersifat universal.

Teori tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu tersendiri. Khususnya hermeneutika yang semula sangat dekat kerjanya dengan Biblical Studies (Studi Bible).

B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana asal-usul dan pengertian hermeneutika?
    2. Bagaimana latar belakang munculnya filsafat hermeneutika?
    3. Bagaimana perkembangan filsafat hermeneutika beserta para tokohnya?

A. Penerapan Filsafat Hermeneutika

Yang dipermasalahkan dalam filsafat Hermeneutika adalah penafsiran teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkanya adalah persoalan yang banyak dan juga kompleks, diantaranya hubungan yang terjalin di sekitar watak dasar teks dan dengan turats di satu sisi, serta hubungan teks dengan pengarangnya di sisi lain. Hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada hubungan mufassir (kritikus untuk kasus teks sastra) dengan teks. Konsentrasi atas hubungan mufassir dengan teks ini merupakan titik pangkal dan persoalan serius bagi filsafat hermeneutik.

Istilah hermeneutika sebenarnya merupakan istilah klasik yang pertama kali digunakan dalam wilayah studi teologis untuk menunjuk pada sejumlah kaidah dan kriteria yang harus diikuti mufasir untuk memahami teks keagamaan (kitab suci). Hermeneutika sendiri berbeda dengan tafsir yang didenotasi oleh istilah exegesis dengan asumsi bahwa tafsir (exegesis) itu menunjuk penafsiran itu sendiri dengan detail–detail aplikasinya sementara hermeneutika mengacu pada teori penafsiran. Istilah tertua yang menunjuk pada pengertian ini digunakan pada tahun 1654 dan berkesinambungan hingga dewasa ini terutama di lingkungan protestanism.[1]

Pengertian istilah ini kemudian meluas dalam berbagai aplikasi modern dan bergeser dari wilayah disiplin teologis ke wilayah yang jauh lebih luas mencakup umumnya ilmu humaniora, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, estetika, kritik sastra. Secara garis besar perkembangan ilmu ini menfokuskan pada teori penafsiran teks sastra. Dengan demikian, Hermeneutika pada saat yang sama merupakan persoalan yang klasik sekaligus modern.[2] Dalam bidang filsafat, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan, karena pada kenyataanya keseluruhan filsafat adalah interpretasi, pembahasan seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa manusia.[3]

Melalui bahasa kita berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah tafsir. Arti atau makna dapat diperoleh tergantung dari banyak faktor, siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkenaan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah pristiwa bahasa.[4] Dan sebenarnya yang harus disadari adalah pergumulan dengan aspek apapun dari pemikiran barat menjadikan kita berada dalam kondisi dialog-dialektis, Bahwa kita dituntut tidak hanya dengan mengadopsi dan beradaptasi tetapi juga harus berinteraksi dengan realitas kultural dalam dua sisi historis dan kontemporernya. Dengan dialog kita dengan pemikiran barat, kita memperoleh orisinalitas dan dinamikanya. Kesadaran akan adanya hubungan dialektis kita dengan pemikiran barat dari sisi lain membebaskan kita dari eksklusifisme (menutup diri) dalam bayang–bayang turats yang dimodifikasi dan turats yang diwariskan. Istilah dialog-dialektis pada dasarnya bukan istilah kompromistik yang mencoba menjembatani antara dua kutub yang kontradiktif. Sebaliknya istilah itu bahkan merupakan prinsip filosofis bagi segala pengetahuan.

Proses berkelanjutan dari dialog bermula dari sikap dan dilanjutkan dengan pilihan. Adanya dialog-dialektis dalam proses pilihan memperdalam kesadaran dan menyelamatkan kita dari kekacauan pemikiran yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun yang merenungkan kehidupan kultural kita. Dari pangkal tolak inilah filsafat hermeneutika dikemukakan dalam pemikiran filsafat modern dengan harapan akan mencerahkan kita dalam sebagian sisi keterbatasan visi kultural dan sisi aktifitas sastrawi.[5]

Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, seorang kritikus tidaklah cukup dengan mengabaikan hubungan antara sikap subjektifnya terhadap realitas dengan metodologi yang dibangunya untuk menganilis teks sastra, tetapi juga mempersatukan secara tegas antara penafsiranya terhadap teks dengan teksnya itu sendiri serta mempersatukan antara teks dengan formulasi linguistik dan estetiknya dengan tujuan penulis. Trilogi (pengarang/teks kritikus) atau (tujuan/teks/tafsir) sejatinya tidak dapat dipersatukan secara mekanik antara unsur-unsurnya. Hal ini karena hubungan antara berbagai unsur ini mempresentasikan problem hakiki yakni problem yang ingin dianilisis oleh hermeneutika juga problem yang diupayakan untuk dilihat dengan pandangan baru oleh hermeneutika untuk mengeliminir beberapa kesulitan pemahamanya sehingga filsafat hermeneutika dapat memberikan fundamen baru terhadap hubungan antara berbagai unsur ini.[6]

TOKOH – TOKOH HERMENEUTIKA

A. Hermeneutika Schleiermacher (1768-1834)

Dalam kajian filsafat hermeneutika, Schleiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern (The father of modern hermeneutics) tersebut karena Schleiermacher telah menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal dan mengajukan teori pemahaman yang filosofis untuk mengatasinya.

Untuk memahami (Verstehen) sebuah teks, Schleiermacher mengemukakan cara melakukan penafsiran (Auslegung). Menurutnya, sebuah teks dapat dipahami dengan melakukan penafsiran tata bahasa dan psikologis (grammatical and psychological interpretation). Penafsiran tata bahasa berfungsi untuk mengidentifikasi secara jelas makna istilah bahasa yang digunakan dalam teks, sedangkan penafsiran psikologis berfungsi untuk mengidentifikasi motif pengarang dalam suatu waktu dari kehidupannya ketika menulis teks.[7]

Jadi hermeneutika Schleiermacher mengandaikan tujuannya untuk bisa menangkap kembali kebenaran dari teks, yang ditetapkan dalam kaitannya dengan maksud penulis aslinya.[8]

B. Hermeneutika William Dilthey (1833-1911)

Menurut Dilthey, hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada satu masa saja”, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Sejarah bangsa Indonesia, misalnya, tidak munggkin hanya ditulis sekali untuk selamanya, tetapi akan selalu ditulis kembali oleh setiap generasi. Bahasa juga tidak pernah lepas dari pasang surutnya sejarah. Kata-kata atau pernyataan tunggal bisa mempunyai makna bermacam-macam, tergantung pada konteks sejarah di mana kata atau pernyataan itu diucapkan. Itu pula sebabnya mengapa makna kata atau bahkan ungkapan tidak pernah tunggal. Makna kata muncul, tenggelam, dan berkembang dalam rentetan sejarah masyarakat penggunanya.[9]

Jadi, Berbeda dengan Schleiermacher, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa dan pengarang tidak memiliki otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya.[10]

C. Hermeneutika Edmund Husserl (1889-1938)

Menurut Husserl, proses penafsiran harus kembali pada data, bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Intrepeter harus melepaskan semua pengandaian dan kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat objhek yang mengarahkan diri kepadanya. Jadi bagi hermeneutika Husserl, pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori.[11]

Dengan begitu, proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, yakni dengan membiarkan teks berbiucara sendiri. Berbeda dengan Schleiermacher dan Dilthey, hermeneutika Husserl berpendapat bahwa teks mereflesikan kerangka mentalnya sendiri, dan karenanya penafsir harus netral dan menjauhkan diri dari unsur-unsur subjektifnya atas objek.

D. Hermeneutika martin Heidegger (1889-1976)

Heidegger merupakan filosof Hermeneutika yang menentang keras gagasan Husserl mengenai netralitas sang penafsir. Sebab, kerja penafsiran hanya bisa dilakukan dengan prasangka mengenai objek. Menurutnya, prasangka-prasangka historis atas objek merupakan sumber-sumber pemahaman, karena prasangka adalah bagian dari eksistensi yang harus dipahami.

Untuk memahami teks, kita tidak mungkin bisa mencapainya dengan cara melacak makna tertentu yang ditempatkan di sana oleh pengarang. Dengan demikian harus dikaitkan antara keberadaan kita dengan apa yang bisa ditunjukkan oleh teks. Implikasinya, tidak ada lagi makna tunggal dan tetap; sebaliknnya, yang ada adalah keragaman makna. Dengan demikian, penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang, yang dengan demikian akan memahami lagi teks yang sama secara baru dengan makna baru pula.

E. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer (1900-2002)

Menurut Gadamer, dalam proses memahami teks, pikiran penafsir juga menceburkan diri dalam pembangkitan kembali makna teks. Dengan demikian, tindakan pemahaman adalah suatu kehendak yang sejauh mun gkin bisa melahirkan proses pelebuan, sekurang-kurangnya antara pengarang dan konteks historis dari sebuah teks dipertimbangkan dalam proses interpretif bersama dengan prasangka-prasangka penafsair seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa dan budaya.[12]

F. Hermeneutika Jurgen Habermas (1929-)

Habermas dikenal dengan gagasannya tentang Critical Theory (Teori Kritis).[13] Menurut perspektif kritisnya, hermeneutika Gadamer dianggap kurang memiliki kesadaran social yang kritis. Kalau bagi Gadamer, pemahaman didahului oleh pra-penilaian (pre-judgment), maka bagi Habermas, pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan pemahaman adalah kepentingan social (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpreter.

Hermeneutika ini lebih mengedepankan refleksi kritis penafsi dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi. Karena itu, untuk memahami suatu teks, seorang penafsir harus mampu mengambil jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan prasangka.[14]

TOKOH – TOKOH HERMENEUTIKA DALAM ISLAM

  1. Muhammad Arkoun

Muhammed Arkoun, pemikir Liberal ini lahir pada Tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbone Paris. Corak konstruksi pemikiran epistemik Arkoun sangat terlihat dipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dijadikan landasan analisis Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis Perancis.[15]

Muhammed Arkoun berpendapat bahwa Mushaf Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia mengusulkan supaya membudayakan pemikiran liberal (free thinking). Ia mencapai pemikiran liberal dengan dekonstruksi. Baginya, dekonstruksi adalah sebuah ijtihad yang akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang Alquran. Jika masalah-masalah yang selama ini ditabukan dan dilarang dan semua itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika didekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus terbuka.[16]

Menurutnya pendekatan historitas, meskipun berasal dari Barat, tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja.Tetapi pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis, yang akan menantang segala bentuk penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional. Arkoun dalam mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi pada teori Hermeneutika.

  1. Nasr Hamid Abu Zaid

Dr. Nashr Hamid Abu Zaid (l. 1943), seorang pemikir Muslim asal Mesir yang mengajar di Fakultas Sastra Universitas Kairo namun sejak tahun 1995 harus mengasingkan diri bersama istrinya di Leiden, Belanda. bermula dari dalam lingkungan universitas ketika ia mengajukan karya-karya ilmiahnya untuk keperluan kenaikan pangkat ke tingkat guru besar. Setelah memperhatikan karya-karya tersebut, salah satu dari anggota tim penilai karya ilmiah yang bernama ‘Abd al-Shabur Syahin, seorang dosen di fakultas Dar al-‘Ulum dan juga imam tetap Masjid ‘Amr bin al-‘Ash, memvonis pandangan Abu Zaid tidak sesuai dengan ajaran Islam. Singkat cerita, dari perdebatan di lingkungan universitas beberapa pengacara yang bersimpati kepada kelompok fundamentalis membawa vonis takfir ini ke pengadilan dan mengajukan gugatan cerai tanpa persetujuan atau keinginan sendiri baik dari Abu Zaid maupun istrinya.

Abu Zaid berpendapat al-Qur’an dibentuk oleh budaya Arab, akan tetapi itu tidak berarti bahwa ia tidak meyakini al-Qur’an sebagai ciptaan Allah. Sebagaimana keyakinan kaum muslimin, Abu Zayd juga percaya bahwa al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril dalam waktu lebih dari dua puluh tahun. Walaupun al-Qur’an merupakan firman Allah, al-Qur’an menggunakan bahasa manusia. diwahyukan kepada manusia (nabi Muhammad) untuk kemudian disampaikan kepada seluruh umat manusia untuk kepentingan mereka. Selain itu, fakta bahwa al-Qur’an diturunkan selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, serta adanya literatur tentang asbab al-nuzul, ayat-ayat Mekah dan Madinah dan juga tentang ayat-ayat yang dihapus/diganti dan menggantikan (mansukh wa nasikh), membuktikan bahwa konteks sosio-politik dan historis sangat mempengaruhi turunnya ayat-ayat al-Qur’an. [17]

  1. Hasan Hanafi

Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen. [18]

Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion. [19]

Karya-karyanya antara Lain, Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara agama dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan fenomenologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.

D. Fazlur Rahman

Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal. Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan Urdu.[20] Ia mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada.

Sekembalinya ke tanah air, Pakistan, pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.[21]

Pandangan Rahman mengenai Al-Qur’an merupakan landasan bagi perumusan metodologi tafsirnya. Bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, menurut Rahman, merupakan kepercayaan pokok. Tanpa kepercayaan ini, tidak seorang pun yang bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya nama saja). Karena itu, Rahman memberikan argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan kemapanan karakter wahyu dari Al-Qur’an ini.

Rahman mengutip kembali apa yang telah ditulisnya dalam Islam:

Bagi Al-Qur’an sendiri, dan konsekwensinya juga bagi kaum muslimin, Al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya lain.[22]

Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.

HERMENEUTIKA DAN PENAFSIRAN

Antara hermeneutika dan tafsir perbedaannya tidak terlalu signifikan. Dalam metode penafsiran masih mengukuhkan riwayat, dalam artian memberikan penjelasan agar isi pesan dapat dimengerti sesuai dengan daya tangkap penerima disertai petunjuk sebagaimana tradisi kuno tersebut dapat diambil hikmah dalam konteks kehidupan (sosio-historis) penerima pesan.

Sedangkan hermeneutika adalah penafsiran makna, tidak menggunakan asbabun nuzul serta merupakan rasionalitas murni.

Jika dibandingkan antara tafsir dan hermeneutika, tafsir lebih mempunyai pondasi tradisi yang kuat. Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al-Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang jelas. Rasulullah Saw. menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan rantai riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir.

Akibat masalah otentisitas Bibel, agama Yahudi dan Kristen tidak mengenal arti Bibel langsung dari sumbernya atau yang berotoritas. Karena itu mereka mengadopsi hermeneutika dari tradisi Yunani untuk mempertahankan status Bibel sebagai kitab suci. Ironisnya, ketika hermeneutika mulai diterapkan, “kesucian” Bibel justru dibongkar karena dianggap merintangi upaya penafsiran yang ilmiah. puncaknya terjadi ketika Schleiermacher menyamakan antara teks bibel dan teks Yunani atau Romawi kuno.


[1] Nashr Hamid Abu Zaid, isykaliyat al-qiroah wa aliyyat at-Ta’wil/hermeneutika inklusif, ( Jakarta Selatan : ICIP, 2004), 4.

[2] Ibid, 4.

[3][3] E.sumaryono, Hermeneutika sebuah metode filsafat, (Jogjakarta : kanisius, 1999), 29.

[4][4] Ibid, 30.

[5] Ibid 6.

[6]Nashr Hamid Abu Zaid, isykaliyat al-qiroah wa aliyyat at-Ta’wil/hermeneutika inklusif, 9.

[7] Http://www.hotlinkfiles.com/1835009_n2mqy/Hermeneutika.pdf.

[8] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 59

[9] Ibid, 42-43

[10] Http://www.hotlinkfiles.com/1835009_n2mqy/Hermeneutika.pdf.

[11] Dasar-dasar Hermeneutika, 63

[12] Dasar-dasar Hermeneutika, 63-66

[13] Http://www.hotlinkfiles.com/1835009_n2mqy/Hermeneutika.pdf.

[14] Dasar-dasar Hermeneutika,67-68

[15] Http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2007/10/peta-kritik-nalar-islam-arkoun-dari.html

[16] Adnin Armas, Dampak Hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey terhadap Studi Al-QurĂ¡n, Jurnal Islamia, Vol. III, No. 3, 2008. Hlm, 5-6

[17] Adnin Armas, Dampak Hermeneutika…..Hlm. 12

[18] Luwis ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989), Hlm, 133.

[19] Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987), Hlm, 332.

[20] Taufik Adnan Amal, “Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini”, dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif…, Hlm, 81

[21] Ibid,h. 13-14.

[22] Fazlur Rahman, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”, dalam Jurnal Al-Hikmah, Dzulhijjah 1412-Rabi’ Al-Awwal 1413/Juli-Oktober 1992, h. 59.