Rabu, 24 Maret 2010

filsafat Hermeneutika

FILSAFAT HERMENEUTIKA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Filsafat Ilmu





Disusun oleh:

Yuni Wulandari : C51208056

Zakiyatul Ulya : C51208057

Habibatul Ulum : C51208058

Ary Ardila : C51208059

Muhyidin Dardir : C51208060




Dosen Pembimbing:

Dr. H. Sahid, M.Ag

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

SURABAYA

2009






BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Salah satu ciri khas filsafat dewasa ini adalah perhatiannya kepada bahasa. Tentu saja, bahasa bukan merupakan tema baru dalam filsafat. Minat untuk masalah-masalah yang menyangkut bahasa terlihat sepanjang sejarah filsafat, sudah sejak permulaannya di Yunani. Namun demikian, perhatian filosofis untuk bahasa itu belum pernah begitu umum, begitu luas dan begitu mendalam seperti dalam abad ke-20. Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa memainkan peranan yang dapat dibandingkan dengan yang ada dalam filsafat klasik dulu. Karena terdapat kemiripan tertentu, yaitu keduanya bersifat universal.

Teori tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu pengetahuan adalah selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu tersendiri. Khususnya hermeneutika yang semula sangat dekat kerjanya dengan Biblical Studies (Studi Bible).

B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana asal-usul dan pengertian hermeneutika?
    2. Bagaimana latar belakang munculnya filsafat hermeneutika?
    3. Bagaimana perkembangan filsafat hermeneutika beserta para tokohnya?

A. Penerapan Filsafat Hermeneutika

Yang dipermasalahkan dalam filsafat Hermeneutika adalah penafsiran teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkanya adalah persoalan yang banyak dan juga kompleks, diantaranya hubungan yang terjalin di sekitar watak dasar teks dan dengan turats di satu sisi, serta hubungan teks dengan pengarangnya di sisi lain. Hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada hubungan mufassir (kritikus untuk kasus teks sastra) dengan teks. Konsentrasi atas hubungan mufassir dengan teks ini merupakan titik pangkal dan persoalan serius bagi filsafat hermeneutik.

Istilah hermeneutika sebenarnya merupakan istilah klasik yang pertama kali digunakan dalam wilayah studi teologis untuk menunjuk pada sejumlah kaidah dan kriteria yang harus diikuti mufasir untuk memahami teks keagamaan (kitab suci). Hermeneutika sendiri berbeda dengan tafsir yang didenotasi oleh istilah exegesis dengan asumsi bahwa tafsir (exegesis) itu menunjuk penafsiran itu sendiri dengan detail–detail aplikasinya sementara hermeneutika mengacu pada teori penafsiran. Istilah tertua yang menunjuk pada pengertian ini digunakan pada tahun 1654 dan berkesinambungan hingga dewasa ini terutama di lingkungan protestanism.[1]

Pengertian istilah ini kemudian meluas dalam berbagai aplikasi modern dan bergeser dari wilayah disiplin teologis ke wilayah yang jauh lebih luas mencakup umumnya ilmu humaniora, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, estetika, kritik sastra. Secara garis besar perkembangan ilmu ini menfokuskan pada teori penafsiran teks sastra. Dengan demikian, Hermeneutika pada saat yang sama merupakan persoalan yang klasik sekaligus modern.[2] Dalam bidang filsafat, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan, karena pada kenyataanya keseluruhan filsafat adalah interpretasi, pembahasan seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa manusia.[3]

Melalui bahasa kita berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah tafsir. Arti atau makna dapat diperoleh tergantung dari banyak faktor, siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkenaan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah pristiwa bahasa.[4] Dan sebenarnya yang harus disadari adalah pergumulan dengan aspek apapun dari pemikiran barat menjadikan kita berada dalam kondisi dialog-dialektis, Bahwa kita dituntut tidak hanya dengan mengadopsi dan beradaptasi tetapi juga harus berinteraksi dengan realitas kultural dalam dua sisi historis dan kontemporernya. Dengan dialog kita dengan pemikiran barat, kita memperoleh orisinalitas dan dinamikanya. Kesadaran akan adanya hubungan dialektis kita dengan pemikiran barat dari sisi lain membebaskan kita dari eksklusifisme (menutup diri) dalam bayang–bayang turats yang dimodifikasi dan turats yang diwariskan. Istilah dialog-dialektis pada dasarnya bukan istilah kompromistik yang mencoba menjembatani antara dua kutub yang kontradiktif. Sebaliknya istilah itu bahkan merupakan prinsip filosofis bagi segala pengetahuan.

Proses berkelanjutan dari dialog bermula dari sikap dan dilanjutkan dengan pilihan. Adanya dialog-dialektis dalam proses pilihan memperdalam kesadaran dan menyelamatkan kita dari kekacauan pemikiran yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun yang merenungkan kehidupan kultural kita. Dari pangkal tolak inilah filsafat hermeneutika dikemukakan dalam pemikiran filsafat modern dengan harapan akan mencerahkan kita dalam sebagian sisi keterbatasan visi kultural dan sisi aktifitas sastrawi.[5]

Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, seorang kritikus tidaklah cukup dengan mengabaikan hubungan antara sikap subjektifnya terhadap realitas dengan metodologi yang dibangunya untuk menganilis teks sastra, tetapi juga mempersatukan secara tegas antara penafsiranya terhadap teks dengan teksnya itu sendiri serta mempersatukan antara teks dengan formulasi linguistik dan estetiknya dengan tujuan penulis. Trilogi (pengarang/teks kritikus) atau (tujuan/teks/tafsir) sejatinya tidak dapat dipersatukan secara mekanik antara unsur-unsurnya. Hal ini karena hubungan antara berbagai unsur ini mempresentasikan problem hakiki yakni problem yang ingin dianilisis oleh hermeneutika juga problem yang diupayakan untuk dilihat dengan pandangan baru oleh hermeneutika untuk mengeliminir beberapa kesulitan pemahamanya sehingga filsafat hermeneutika dapat memberikan fundamen baru terhadap hubungan antara berbagai unsur ini.[6]

TOKOH – TOKOH HERMENEUTIKA

A. Hermeneutika Schleiermacher (1768-1834)

Dalam kajian filsafat hermeneutika, Schleiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern (The father of modern hermeneutics) tersebut karena Schleiermacher telah menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal dan mengajukan teori pemahaman yang filosofis untuk mengatasinya.

Untuk memahami (Verstehen) sebuah teks, Schleiermacher mengemukakan cara melakukan penafsiran (Auslegung). Menurutnya, sebuah teks dapat dipahami dengan melakukan penafsiran tata bahasa dan psikologis (grammatical and psychological interpretation). Penafsiran tata bahasa berfungsi untuk mengidentifikasi secara jelas makna istilah bahasa yang digunakan dalam teks, sedangkan penafsiran psikologis berfungsi untuk mengidentifikasi motif pengarang dalam suatu waktu dari kehidupannya ketika menulis teks.[7]

Jadi hermeneutika Schleiermacher mengandaikan tujuannya untuk bisa menangkap kembali kebenaran dari teks, yang ditetapkan dalam kaitannya dengan maksud penulis aslinya.[8]

B. Hermeneutika William Dilthey (1833-1911)

Menurut Dilthey, hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah “berhenti pada satu masa saja”, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Sejarah bangsa Indonesia, misalnya, tidak munggkin hanya ditulis sekali untuk selamanya, tetapi akan selalu ditulis kembali oleh setiap generasi. Bahasa juga tidak pernah lepas dari pasang surutnya sejarah. Kata-kata atau pernyataan tunggal bisa mempunyai makna bermacam-macam, tergantung pada konteks sejarah di mana kata atau pernyataan itu diucapkan. Itu pula sebabnya mengapa makna kata atau bahkan ungkapan tidak pernah tunggal. Makna kata muncul, tenggelam, dan berkembang dalam rentetan sejarah masyarakat penggunanya.[9]

Jadi, Berbeda dengan Schleiermacher, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa dan pengarang tidak memiliki otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya.[10]

C. Hermeneutika Edmund Husserl (1889-1938)

Menurut Husserl, proses penafsiran harus kembali pada data, bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Intrepeter harus melepaskan semua pengandaian dan kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat objhek yang mengarahkan diri kepadanya. Jadi bagi hermeneutika Husserl, pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori.[11]

Dengan begitu, proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, yakni dengan membiarkan teks berbiucara sendiri. Berbeda dengan Schleiermacher dan Dilthey, hermeneutika Husserl berpendapat bahwa teks mereflesikan kerangka mentalnya sendiri, dan karenanya penafsir harus netral dan menjauhkan diri dari unsur-unsur subjektifnya atas objek.

D. Hermeneutika martin Heidegger (1889-1976)

Heidegger merupakan filosof Hermeneutika yang menentang keras gagasan Husserl mengenai netralitas sang penafsir. Sebab, kerja penafsiran hanya bisa dilakukan dengan prasangka mengenai objek. Menurutnya, prasangka-prasangka historis atas objek merupakan sumber-sumber pemahaman, karena prasangka adalah bagian dari eksistensi yang harus dipahami.

Untuk memahami teks, kita tidak mungkin bisa mencapainya dengan cara melacak makna tertentu yang ditempatkan di sana oleh pengarang. Dengan demikian harus dikaitkan antara keberadaan kita dengan apa yang bisa ditunjukkan oleh teks. Implikasinya, tidak ada lagi makna tunggal dan tetap; sebaliknnya, yang ada adalah keragaman makna. Dengan demikian, penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang, yang dengan demikian akan memahami lagi teks yang sama secara baru dengan makna baru pula.

E. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer (1900-2002)

Menurut Gadamer, dalam proses memahami teks, pikiran penafsir juga menceburkan diri dalam pembangkitan kembali makna teks. Dengan demikian, tindakan pemahaman adalah suatu kehendak yang sejauh mun gkin bisa melahirkan proses pelebuan, sekurang-kurangnya antara pengarang dan konteks historis dari sebuah teks dipertimbangkan dalam proses interpretif bersama dengan prasangka-prasangka penafsair seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa dan budaya.[12]

F. Hermeneutika Jurgen Habermas (1929-)

Habermas dikenal dengan gagasannya tentang Critical Theory (Teori Kritis).[13] Menurut perspektif kritisnya, hermeneutika Gadamer dianggap kurang memiliki kesadaran social yang kritis. Kalau bagi Gadamer, pemahaman didahului oleh pra-penilaian (pre-judgment), maka bagi Habermas, pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan pemahaman adalah kepentingan social (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpreter.

Hermeneutika ini lebih mengedepankan refleksi kritis penafsi dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi. Karena itu, untuk memahami suatu teks, seorang penafsir harus mampu mengambil jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan prasangka.[14]

TOKOH – TOKOH HERMENEUTIKA DALAM ISLAM

  1. Muhammad Arkoun

Muhammed Arkoun, pemikir Liberal ini lahir pada Tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbone Paris. Corak konstruksi pemikiran epistemik Arkoun sangat terlihat dipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dijadikan landasan analisis Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis Perancis.[15]

Muhammed Arkoun berpendapat bahwa Mushaf Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia mengusulkan supaya membudayakan pemikiran liberal (free thinking). Ia mencapai pemikiran liberal dengan dekonstruksi. Baginya, dekonstruksi adalah sebuah ijtihad yang akan memperkaya sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang Alquran. Jika masalah-masalah yang selama ini ditabukan dan dilarang dan semua itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika didekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus terbuka.[16]

Menurutnya pendekatan historitas, meskipun berasal dari Barat, tidak hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja.Tetapi pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis, yang akan menantang segala bentuk penafsiran transenden yang dibuat teolog tradisional. Arkoun dalam mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi pada teori Hermeneutika.

  1. Nasr Hamid Abu Zaid

Dr. Nashr Hamid Abu Zaid (l. 1943), seorang pemikir Muslim asal Mesir yang mengajar di Fakultas Sastra Universitas Kairo namun sejak tahun 1995 harus mengasingkan diri bersama istrinya di Leiden, Belanda. bermula dari dalam lingkungan universitas ketika ia mengajukan karya-karya ilmiahnya untuk keperluan kenaikan pangkat ke tingkat guru besar. Setelah memperhatikan karya-karya tersebut, salah satu dari anggota tim penilai karya ilmiah yang bernama ‘Abd al-Shabur Syahin, seorang dosen di fakultas Dar al-‘Ulum dan juga imam tetap Masjid ‘Amr bin al-‘Ash, memvonis pandangan Abu Zaid tidak sesuai dengan ajaran Islam. Singkat cerita, dari perdebatan di lingkungan universitas beberapa pengacara yang bersimpati kepada kelompok fundamentalis membawa vonis takfir ini ke pengadilan dan mengajukan gugatan cerai tanpa persetujuan atau keinginan sendiri baik dari Abu Zaid maupun istrinya.

Abu Zaid berpendapat al-Qur’an dibentuk oleh budaya Arab, akan tetapi itu tidak berarti bahwa ia tidak meyakini al-Qur’an sebagai ciptaan Allah. Sebagaimana keyakinan kaum muslimin, Abu Zayd juga percaya bahwa al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril dalam waktu lebih dari dua puluh tahun. Walaupun al-Qur’an merupakan firman Allah, al-Qur’an menggunakan bahasa manusia. diwahyukan kepada manusia (nabi Muhammad) untuk kemudian disampaikan kepada seluruh umat manusia untuk kepentingan mereka. Selain itu, fakta bahwa al-Qur’an diturunkan selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, serta adanya literatur tentang asbab al-nuzul, ayat-ayat Mekah dan Madinah dan juga tentang ayat-ayat yang dihapus/diganti dan menggantikan (mansukh wa nasikh), membuktikan bahwa konteks sosio-politik dan historis sangat mempengaruhi turunnya ayat-ayat al-Qur’an. [17]

  1. Hasan Hanafi

Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen. [18]

Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion. [19]

Karya-karyanya antara Lain, Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara agama dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan fenomenologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.

D. Fazlur Rahman

Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal. Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan Urdu.[20] Ia mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada.

Sekembalinya ke tanah air, Pakistan, pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.[21]

Pandangan Rahman mengenai Al-Qur’an merupakan landasan bagi perumusan metodologi tafsirnya. Bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, menurut Rahman, merupakan kepercayaan pokok. Tanpa kepercayaan ini, tidak seorang pun yang bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya nama saja). Karena itu, Rahman memberikan argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan kemapanan karakter wahyu dari Al-Qur’an ini.

Rahman mengutip kembali apa yang telah ditulisnya dalam Islam:

Bagi Al-Qur’an sendiri, dan konsekwensinya juga bagi kaum muslimin, Al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya lain.[22]

Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.

HERMENEUTIKA DAN PENAFSIRAN

Antara hermeneutika dan tafsir perbedaannya tidak terlalu signifikan. Dalam metode penafsiran masih mengukuhkan riwayat, dalam artian memberikan penjelasan agar isi pesan dapat dimengerti sesuai dengan daya tangkap penerima disertai petunjuk sebagaimana tradisi kuno tersebut dapat diambil hikmah dalam konteks kehidupan (sosio-historis) penerima pesan.

Sedangkan hermeneutika adalah penafsiran makna, tidak menggunakan asbabun nuzul serta merupakan rasionalitas murni.

Jika dibandingkan antara tafsir dan hermeneutika, tafsir lebih mempunyai pondasi tradisi yang kuat. Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al-Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang jelas. Rasulullah Saw. menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan rantai riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir.

Akibat masalah otentisitas Bibel, agama Yahudi dan Kristen tidak mengenal arti Bibel langsung dari sumbernya atau yang berotoritas. Karena itu mereka mengadopsi hermeneutika dari tradisi Yunani untuk mempertahankan status Bibel sebagai kitab suci. Ironisnya, ketika hermeneutika mulai diterapkan, “kesucian” Bibel justru dibongkar karena dianggap merintangi upaya penafsiran yang ilmiah. puncaknya terjadi ketika Schleiermacher menyamakan antara teks bibel dan teks Yunani atau Romawi kuno.


[1] Nashr Hamid Abu Zaid, isykaliyat al-qiroah wa aliyyat at-Ta’wil/hermeneutika inklusif, ( Jakarta Selatan : ICIP, 2004), 4.

[2] Ibid, 4.

[3][3] E.sumaryono, Hermeneutika sebuah metode filsafat, (Jogjakarta : kanisius, 1999), 29.

[4][4] Ibid, 30.

[5] Ibid 6.

[6]Nashr Hamid Abu Zaid, isykaliyat al-qiroah wa aliyyat at-Ta’wil/hermeneutika inklusif, 9.

[7] Http://www.hotlinkfiles.com/1835009_n2mqy/Hermeneutika.pdf.

[8] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 59

[9] Ibid, 42-43

[10] Http://www.hotlinkfiles.com/1835009_n2mqy/Hermeneutika.pdf.

[11] Dasar-dasar Hermeneutika, 63

[12] Dasar-dasar Hermeneutika, 63-66

[13] Http://www.hotlinkfiles.com/1835009_n2mqy/Hermeneutika.pdf.

[14] Dasar-dasar Hermeneutika,67-68

[15] Http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2007/10/peta-kritik-nalar-islam-arkoun-dari.html

[16] Adnin Armas, Dampak Hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey terhadap Studi Al-Qurán, Jurnal Islamia, Vol. III, No. 3, 2008. Hlm, 5-6

[17] Adnin Armas, Dampak Hermeneutika…..Hlm. 12

[18] Luwis ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989), Hlm, 133.

[19] Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987), Hlm, 332.

[20] Taufik Adnan Amal, “Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini”, dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif…, Hlm, 81

[21] Ibid,h. 13-14.

[22] Fazlur Rahman, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”, dalam Jurnal Al-Hikmah, Dzulhijjah 1412-Rabi’ Al-Awwal 1413/Juli-Oktober 1992, h. 59.

0 komentar: